WAJIB PAJAK YANG DAPAT DIBERIKAN PENGURANGAN BPHTB
Berdasarkan KMK No. 561/KMK.03/2004 jo. PMK No.104/PMK.01/2005 sebagaimana ditindaklanjuti dengan peraturan
Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2005 jo. PER-158/PJ/2006 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan BPHTB, atas
permohonan WP dapat diberikan pengurangan BPHTB dalam hal:
a. Kondisi tertentu WP yang ada hubungannya dengan obyek pajak yaitu:
1) WP OP yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan
secara ekonomis;
2) WP Badan yang memperoreh hak baru selain Hak pengelolaan :
(i) Telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun dihitung sejak badan usaha
tersebut menguasai tanah dan atau bangunan.
(ii) Apabila badan tersebut telah mengalami perubahan bentuk badan hukum, termasuk kelanjutan badan usaha hasil
penggabungan atau peleburan usaha yang 100% sahamnya, baik sebelum maupun sesudah penggabungan atau peleburan
usaha, dimiliki oleh Negara, pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah, penguasaan fisiknya dihitung sejak badan
usaha sebelum perubahan atau sebelum penggabungan atau peleburan usaha, menguasai tanah dan atau bangunan.
Penguasaan tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun, harus dibuktikan dengan surat pernyataan
WP dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat.
3) WP OP yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah sederhana dan Rumah susun sederhana, serta
Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari Pengembang dan dibayar secara angsuran;
4) WP OP yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
b. Kondisi wP yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, yaitu :
1) WP yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi Pemerintah yang nilai ganti
ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP);
2) WP yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh Pemerintah untuk
kepentingan umum;
3) WP Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian
nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan
Pemerintah;
4) WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank
Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
5) WP Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi) terlebih
dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan nilai buku dalam rangka
penggabungan atau peleburan usaha dari Dirjen Pajak;
6) WP yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan
bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan
huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak penandatanganan akta;
7) WP OP Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia
(POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah
dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah.
8) WP Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam
rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS,
9) WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan Keputusan Menkeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
c, Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk
mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan
mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.
BESARNYA PENGURANGAN
Besarnya pengurangan BPHTB ditetapkan sebagai berikut:
a. sebesar 25% dari pajak yang terutang untuk WP sebagaimana dimaksud, dalam kondisi a. angka 3);
b. sebesar 50% dari pajak yang terutang untuk WP sebagaimana dimaksud dalam kondisi a. angka 2), angka 4),
kondisi b. angka 1), angka 2), angka 5), angka 6) dan angka 9), serta kondisi c.;
c. sebesar 75% dari pajak yang terutang untuk WP sebagaimana dimaksud dalam kondisi a. angka 1), kondisi b.
angka 3) dan angka 7);
d. sebesar 100% dari pajak yang terutang untuk WP sebagaimana dimaksud dalam kondisi b. angka 4) dan angka 8).
WP dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan BPHTB sebelum melakukan pembayaran dan membayar BPHTB terutang
sebesar perhitungan setelah pengurangan. WP tersebut wajib mengajukan permohonan pengurangan BPHTB dalam jangka
waktu paling lama 3 bulan sejak saat terutang atau sejak saat pembayaran BPHTB.
KETENTUAN BAGI PEJABAT
Dalam pelaksanaan kewajiban UU BPHTB, terdapat beberapa ketentuan yang mengikat pejabat secara hukum, yaitu
yang diatur dalam Pasal 24 dan 25 UU BPHTB. Di bawah ini adalah beberapa ketentuan terhadap pejabat :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau
bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. Penyerahan bukti pembayaran pajak
dilakukan dengan menyerahkan fotokopi SSB dengan menunjukkan aslinya.
2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. Yang dimaksud Pejabat Lelang Negara adalah
Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara Kelas I dan Pejabat Lelang KelasII.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara harus melaporkan pembuatan akta atau
Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Ditjen Pajak selambat-lambatnya pada tanggal
10 bulan berikutnya.
4. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat
menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa SSB.
5. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Peftanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB. Yang
dimaksud pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah pendaftaran hak atas tanah pada buku tanah yang terjad;
karena pemindahan hak atas tanah.
Ancaman sanksi bagi pejabat apabila melanggar ketentuan di atas diatur dalam Pasai 26 UU BPHTB sebagai berikut
:
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Leiang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam butir nomor 1. dan 2. di atas, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,- untuk
setiap pelanggaran.
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir nomor 3. di
atas, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 250.000,- untuk setiap laporan. Sedangkan bagi Kepala
Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin ini dikenakan sanksi menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir nomor 4. di atas, dikenakan sanksi menurut ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut antara lain, PP
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
d. Pejabat Peftanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana . dimaksud dalam butir nomor 5. di
atas, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Contoh :
Semua peralihan hak yang dilakukan oleh Pejabat yang bersangkutan pada bulan Januari 2003, harus dilaporkan
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan Februari 2003 kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan di atas, maka
akan dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran. Dan untuk setiap pelanggaran pembuatan laporan akan dikenakan sanksi administrasi dan denda
sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Kepada Pejabat yang berwenang yang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang
melanggar ketentuan di atas, akan dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan Pejabat Pertanahan Kabupaten I Kota,
Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturin
perundangundangan yang berlaku.
Copyright © Mitra Konsultindo-Konsultan Pajak ®